Jokowi Siapa Tidak Mengenalnya

Perawakannya kurus. Gesturnya bersahaja. Kalau melihatnya sepintas mungkin banyak orang tak menduga bahwa dialah Walikota Solo yang memenangkan dukungan masyarakat hampir 100 persen, saat pemilukada di daerahnya. Waktu bertemu dengan sosok ini penulis pun hampir tak pernah tahu, kecuali setelah ia usai memberikan sambutan di Pendopo rumah jabatannya tahun 2009 silam.

Kepada tetamu yang sebagian besar komisioner penyiaran se-Indonesia, Jokowi atau Joko Widodo mengatakan, “Saya diberi waktu untuk memberi kata sambutan, tapi saya tidak akan berpidato. Boleh ya, saya bicara saja mengenai bagaimana pemerintah kota menangani taman kota yang berubah menjadi pemukiman kumuh di tengah kota.” Maka, bicaralah Jokowi dibantu slide tentang caranya secara humanis memindahkan ribuan kaki lima tanpa demo pedagang atau kekerasan aparat.

Tata cara itu dimulai dengan mengundang semua kaki lima makan siang, dan makan malam di rumah jabatan walikota. Undangan awal ini tidak dimanfaatkan Jokowi untuk meminta warga pergi dari area taman kota. Makan siang pun terus saja berlangsung berhari-hari di rumah jabatan. Para pedagang pun yang kemudian bertanya-tanya, mengapa setiap waktu mereka diundang makan gratis bersama di rumah orang nomor satu Solo itu. Kata Jokowi, ia hampir tidak sampai hati mengusir warganya dari kawasan yang telah berubah menjadi pusat transaksi apapun yang bisa dinegosiasikan.

Hingga suatu hari tibalah kesempatan itu. Jokowi berterus terang bahwa ia tidak memiliki kesanggupan untuk meminta mereka pindah, padahal ia punya satuan polisi pamong praja, juga aparat keamanan. Tapi bila kaki lima bersedia direlokasi, Walikota akan memberi fasilitas, angkutan gratis, dan bantuan kredit. Pendekatan tulus itulah yang menggugah kaki lima, hingga mereka rela pindah secara beramai-ramai, secara damai. Peristiwa itu diliput media secara luas sebagai contoh penggusuran tanpa penolakan sedikit pun, tanpa bunyi pentungan sekali pun. Pada hari-hari berikutnya, Solo menjadi contoh bagaimana. mengelola lapak-lapak kaki lima, bagaimana menerapkan kesantunan dalam model penertiban. Bagaimana seorang Jokowi tampil sebagai sosok yang sangat sederhana.

Bila Jokowi mampu merontokkan hegemoni petahana Gubernur Jakarta, Foke, di putaran kedua Pemilukada 2012 mungkin itu bagian dari berkah untuk megapolitan Jakarta. Jika Foke atau kandidat lain menggelar kampanye dengan distribusi massa yang memacetkan Jakarta, lihatlah strategi Jokowi yang merangsek ke kampung-kampung kumuh Jakarta. Bersenda gurau dengan anak-anak, naik ojek, jalan kaki, atau tak makan hingga petang.

Ahok pasangan Jokowi kepada wartawan menyebutkan, satu-satunya hal yang tidak sanggup dilakukannya bersama calon gubernur Jakarta itu adalah keluar dari rumah sejak pagi, dan tidak makan sampai jam 5 sore. Siapa diantara pemimpin kita yang terbiasa dengan tipikal Jokowi ini?

Kini ia menjadi sosok fenomenal. Selain karena figurnya, adagium soal uang tanpa batas bisa mempengaruhi pendulum pemilukada, ternyata masih bisa dilunturkan kepercayaan dan kesadaran masyarakat saat memilih pemimpin. Ini sekaligus menjadi modal sosial bagi siapapun yang hendak menjadi bupati atau gubernur tanpa berhala politik uang.

Tak bisa penulis bayangkan akan bagaimana (lagi) kurusnya Jokowi mengurus ibukota republik ini. Tapi ia bertangan dingin, dan berjanji akan lebih mengutamakan kaum marjinal. Pendapatan asli daerah Jakarta tahun 2011 yang mencapai kisaran Rp30 Triliun apakah akan memberinya kelonggaran untuk menata panorama berkumis (berantakan; kumuh; miskin) Jakarta? Kita lihat saja nanti.

Siapa tidak mengenal sosok ini? Disela kepercayaan atas validasi hasil survei yang berbalik memenangkannya. Selain menjadi pelajaran berharga bagi partai-partai politik, ini juga semacam oase bagi sedikit orang yang ingin mempertaruhkan ketinggian budi pekerti dalam belukar politik. Nasionalisme, primordialisme, dan apapun namanya tampaknya sedang mengapung, sebab rakyat tetap saklik mencari pemimpin yang jujur dan bersih. (*)

Napo-Banggae, 13 Juli 2012

Tinggalkan komentar